Minggu, 24 Oktober 2010

Potensi bahaya tambang batu bara bawah tanah

Peristiwa ledakan gas metana di tambang rakyat di Sijunjung, Sumatera Barat pada tanggal 16 Juni lalu yang menelan korban tewas sebanyak 33 orang, boleh jadi merupakan catatan terburuk kecelakaan tambang batubara di Indonesia. Kejadian ini menurut penulis adalah puncak dari keteledoran pihak – pihak berwenang sehubungan dengan tidak tuntasnya penanganan masalah keselamatan tambang batubara bawah tanah yang pernah terjadi beberapa waktu sebelumnya, diantaranya adalah kebakaran di tambang dalam PT Bukit Asam (Persero) Tbk, Unit Pertambangan Ombilin di Sawahlunto pada pertengahan Januari 2006, serta ledakan gas yang mengguncang kota Sawahlunto hingga radius 20 km pada tahun 2002.
Beberapa kejadian di atas serta berita – berita tentang kecelakaan tambang batubara bawah tanah di Cina, mungkin akan memunculkan persepsi yang kurang baik di masyarakat tentang tambang dalam (underground). Padahal, tambang dalam merupakan alternatif metode penambangan yang diharapkan apabila cadangan yang dapat ditambang secara ekonomis melalui penambangan terbuka (open cut) semakin menipis. Melalui pelajaran dari beberapa bencana yang telah terjadi, tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan karakteristik tambang dalam, sehingga masyarakat mendapatkan gambaran mendasar tentang operasional tambang dalam yang benar.

Gas – gas di Tambang Dalam
Batubara terbentuk dari tumbuhan purba yang berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun, dapat berjenis lignit, sub-bituminus, bituminus, atau antrasit, tergantung dari tingkat pembatubaraan yang dialami. Konsentrasi unsur karbon akan semakin banyak seiring dengan tingkat pembatubaraan yang semakin berlanjut. Adapun gas – gas yang terbentuk yaitu metana, karbon dioksida serta karbon monoksida, dan gas – gas lain yang menyertainya akan masuk dan terperangkap di celah – celah batuan yang ada di sekitar lapisan batubara. Secara teoretis, jumlah gas metana yang terkumpul pada proses terbentuknya batubara bervolume 1 ton adalah 300m3. Kondisi terperangkapnya gas ini akan terus berlangsung sampai ketika lapisan batubara atau batuan di sekitarnya tersebut terbuka akibat pengaruh alam seperti longsoran, atau karena penggalian (penambangan).
Gas – gas yang muncul di tambang dalam (underground) terbagi menjadi gas berbahaya (hazardous gas) dan gas mudah nyala (combustible gas). Gas berbahaya adalah gas yang dapat mempengaruhi kesehatan bahkan sampai menyebabkan kondisi yang fatal pada seseorang, sedangkan gas mudah nyala adalah gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran dan ledakan di dalam tambang.
Pada tambang dalam, gas berbahaya yang sering dijumpai adalah karbon monoksida (CO), sedangkan yang dapat muncul tapi jarang ditemui adalah hidrogen sulfida (H2S), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2).
CO adalah gas tak berwarna, tak berasa, tak berbau, dan memiliki berat jenis sebesar 0.967. Pada udara biasa, konsentrasinya adalah 0 sampai dengan beberapa ppm, dan menyebar secara merata di udara. CO timbul akibat pembakaran tak sempurna, ledakan gas dan debu, swabakar (spontaneous combustion), kebakaran dalam tambang, peledakan (blasting), pembakaran internal pada mesin, dan lain – lain. Gas ini sangat beracun karena kekuatan ikatan CO terhadap hemoglobin adalah 240 ~ 300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan hemoglobin. Selain beracun, gas ini sebenarnya juga memiliki sifat meledak, dengan kadar ambang ledakan adalah 13 ~ 72%.
Untuk gas mudah nyala pada tambang batubara, sebagian besar adalah gas metana (CH4). Metana adalah gas ringan dengan berat jenis 0.558, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas ini muncul secara alami di tambang batubara bawah tanah sebagai akibat terbukanya lapisan batubara dan batuan di sekitarnya oleh kegiatan penambangan. Dari segi keselamatan tambang, keberadaan metana harus selalu dikontrol terkait dengan sifatnya yang dapat meledak. Gas metana dapat terbakar dan meledak ketika kadarnya di udara sekitar 5 ~ 15%, dengan ledakan paling hebat pada saat konsentrasinya 9.5% dan ketika terdapat sumber api yang memicunya.
Ketika meledak di udara, gas metana akan mengalami pembakaran sempurna pada saat konsentrasinya antara 5% sampai dengan 9.5%, menghasilkan gas karbon dioksida dan uap air. Jika volume udara pada saat itu konstan, maka suhu udara akan mencapai 22000C dengan tekanan 9 atm. Sebaliknya, bila tekanannya konstan maka suhunya hanya akan mencapai 18000C saja. Sedangkan angin ledakan yang timbul, biasanya berkecepatan sekitar 300m/detik. Dari keadaan ini dapatlah dipahami bila para korban ledakan gas metana biasanya tubuhnya akan hangus terbakar.
Jika ledakan terjadi ketika kadar gas metana lebih dari 9.5%, akan berlangsung pula pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan karbon monoksida (CO), yang akan menyebar ke seluruh lorong penambangan mengikuti arah angin ventilasi. Bencana seperti ini akan berdampak lebih buruk bila dibandingkan dengan sekedar ledakan gas saja, karena munculnya bencana susulan berupa keracunan gas CO. Peristiwa ini pernah terjadi di tambang batubara Mitsui Miike di Jepang pada awal November 1963, dengan korban mencapai 458 orang. Dari jumlah itu, korban langsung akibat ledakan itu hanya beberapa puluh saja, sedangkan sisanya adalah akibat keracunan gas CO. Selain itu, tidak sedikit pula pekerja yang mengalami kerusakan jaringan otak sehingga mengalami gangguan fungsi saraf seumur hidupnya.

Ventilasi Tambang Dalam
Untuk menangani permasalahan gas yang muncul di tambang dalam, perencanaan sistem ventilasi yang baik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Selain untuk mengencerkan dan menyingkirkan gas – gas yang muncul dari dalam tambang, tujuan lain dari ventilasi adalah untuk menyediakan udara segar yang cukup bagi para pekerja tambang, dan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kerja yang panas di dalam tambang akibat panas bumi, panas oksidasi, dan lain – lain.
Dengan memperhatikan ketiga tujuan di atas, maka volume ventilasi (jumlah angin) yang cukup harus diperhitungkan dalam perencanaan ventilasi. Secara ideal, jumlah angin yang cukup tersebut hendaknya terbagi secara merata untuk lapangan penggalian (working face), lokasi penggalian maju (excavation/development), serta ruangan mesin dan listrik


Gambar 1Gambar 1. Perhitungan Ventilasi di Tambang Taiheiyo, Hokkaido, Jepang
(Sumber: Dr. Masahiro Inoue, Universitas Kyushu)
Gambar 2Gambar 2. Tampilan 3D Sistem Ventilasi di Tambang Taiheiyo, Hokkaido, Jepang
(Sumber: Dr. Masahiro Inoue, Universitas Kyushu)
Jumlah angin yang terlalu kecil akan menyebabkan gas – gas mudah terkumpul sehingga konsentrasinya meningkat, jumlah pasokan oksigen berkurang, dan lingkungan kerja menjadi panas. Sebaliknya, bila volume anginnya terlalu besar, maka hal ini dapat menimbulkan masalah serius pula yaitu swabakar batubara.
Swabakar batubara terjadi akibat proses oksidasi batubara. Dalam kondisi normal, batubara akan menyerap oksigen di udara dan menimbulkan proses oksidasi perlahan, sehingga terjadi panas oksidasi. Karena nilai konduktivitas panas batubara adalah 1/4 dari konduktivitas panas batuan, maka panas oksidasi sulit berpindah ke batuan di sekitarnya, sehingga akan terus terakumulasi di dalam batubara secara perlahan. Bila sistem ventilasi yang baik untuk menangani hal ini tidak dilakukan, maka suhunya akan terus meningkat dan dapat mencapai titik nyala, dan akhirnya menimbulkan kebakaran.
Apabila kegiatan penggalian batubara di suatu zona sudah selesai dan akan berpindah ke lapangan penggalian berikutnya, maka lorong atas lapangan (tail gate) dan lorong bawah lapangan (main gate) harus disekat (sealing) sempurna, untuk mencegah masuknya aliran udara segar sehingga proses oksidasi batubara terhenti. Pada bagian dalam lorong yang telah disekat, kadar metana akan terus bertambah, sedangkan oksigen akan menurun.

Kasus – kasus Bencana Tambang Dalam
Kebakaran atau lebih tepatnya swabakar di tambang batubara bawah tanah Ombilin yang terjadi lagi pada pertengahan Januari 2006 dimulai dari lorong tambang yang telah disekat rapat yang kemudian terbuka akibat kegiatan penambangan liar (illegal mining). Minimnya pengetahuan teknologi ventilasi yang dimiliki oleh para penambang liar mengakibatkan sekat yang harus dijaga rapat akhirnya dibongkar untuk mengambil batubara yang masih tersisa di dalam. Akibatnya, lorong yang telah disekat tadi terbuka sehingga proses oksidasi batubara berlangsung kembali yang berujung pada kebakaran. Pada saat itu, kadar metana yang sangat tinggi ketika lorong disekat akan menurun. Apabila kadar metana mencapai nilai ambang ledakan yaitu 5~15% dan swabakar berlangsung terus hingga menimbulkan nyala api, maka bencana ledakan gas metana dapat terjadi.
Kemudian untuk ledakan gas di Sijunjung pada 16 Juni lalu, faktor penyebab yang dominan menurut pengamatan penulis adalah rencana penggalian yang serampangan disertai sistem ventilasi yang buruk. Hal ini dapat dibuktikan dari berita di beberapa media yang melaporkan kesulitan evakuasi para korban akibat lorong yang berbelok – belok. Dapat dipastikan bahwa kondisi berbelok – belok disini adalah akibat dari sistem penggalian yang tidak memenuhi kaidah penambangan bawah tanah yang benar. Dan rupanya keadaan ini tidak didukung oleh sistem ventilasi yang baik pula, sehingga gas metana sampai terakumulasi pada tingkat yang dapat meledak. Dengan sedikit percikan api, entah itu dari benturan antara linggis dengan batuan atau dari terkelupasnya kabel listrik, maka ledakan gas metana tidak akan terhindarkan. Itulah yang kemungkin besar terjadi di sana.
Penutup
Berbeda dengan tambang permukaan (open cut) yang lebih terfokus pada manajemen mobilisasi alat berat, tambang dalam jauh lebih banyak memerlukan perhitungan baik dari segi perencanaan penambangan maupun keselamatan, karena kondisi kerjanya yang lebih ekstrim. Sehingga sangatlah tidak masuk akal apabila operasional tambang bawah tanah sampai dilakukan oleh pihak – pihak yang tidak berkompeten, dalam hal ini adalah pelaku tambang rakyat ilegal. Kejadian di Ombilin misalnya, seharusnya sudah menjadi peringatan bagi pihak – pihak berwenang untuk bertindak tegas, karena tambang – tambang ilegal itu menyimpan potensi bencana yang lebih besar. Dan akhirnya terbukti di Bukit Bual, Sijunjung tanggal 16 Juni yang lalu.
Oleh karena itu, sudah seharusnya instansi yang berwenang benar – benar memahami karakteristik metode penambangan bawah tanah ini, sehingga tindakan antisipatif dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya bencana di tambang dalam. Kemudian yang jauh lebih penting lagi adalah aparat harus berani melarang kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) karena terbukti lebih banyak menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, disamping aktivitas itu sendiri sudah jelas – jelas melanggar hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar